Welcome, Mom/Dad!
google_button Or please Login / Register!
Dongeng Time: Si Kupu-Kupu dan Awan

Dongeng Time: Si Kupu-Kupu dan Awan

Di lembah yang tersembunyi di balik pegunungan hijau dan hutan lebat, hiduplah seekor kupu-kupu mungil bernama Luma. Sayapnya selembut kelopak bunga dan berwarna ungu muda, dengan pola bintang-bintang keperakan yang tampak berkilau saat tertimpa cahaya matahari.

Luma tinggal di Lembah Pelangi, tempat yang penuh bunga, sungai-sungai kecil yang jernih, dan udara yang selalu sejuk. Di sana, ia hidup bersama teman-temannya: Tilo si capung cepat, Mimi si lebah madu, dan Dodo si semut pekerja keras.


Setiap pagi, Luma selalu menyambut matahari dengan tarian kecil di atas bunga.


“Selamat pagi, mentari! Selamat pagi, dunia!” serunya dengan riang.


“Selamat pagi juga, Luma,” jawab Mimi si lebah sambil mengumpulkan serbuk sari. “Kau selalu bangun paling pagi, ya?”


“Aku suka pagi hari. Ada harapan baru di setiap cahaya yang muncul,” kata Luma sambil melayang ke bunga lavender.


Namun, di balik keceriaannya, Luma menyimpan satu keinginan besar.


Ia ingin menyentuh awan.


Setiap kali menatap langit, ia bertanya-tanya, “Seperti apa rasanya menyentuh gumpalan putih itu? Apakah selembut kapas? Apakah bisa dijadikan tempat tidur?”


Teman-temannya sering tertawa saat ia bercerita.


“Kau lucu, Luma,” kata Tilo. “Mana bisa kupu-kupu kecil seperti kita sampai ke sana?”


Tapi Luma tak menyerah. Ia percaya, suatu hari nanti, ia bisa menjawab rasa penasarannya sendiri.


Terbang Menembus Langit


Suatu pagi, setelah embun menghilang dan matahari mulai naik, angin lembut bertiup dari utara. Langit tampak jernih, dan awan-awan putih bergulung perlahan di angkasa.


Hari itu terasa... berbeda.


Luma menatap ke atas. Awan-awan itu terlihat sangat dekat.


“Inilah saatnya,” gumamnya pelan.


Ia mengepakkan sayapnya dan mulai terbang lebih tinggi. Melewati bunga-bunga, melampaui pohon tinggi, menembus kawanan burung kecil yang bermain-main di udara. Ia terus naik… dan naik… hingga daun-daun terlihat sekecil titik.


Napasnya mulai terengah, tapi semangatnya menyala terang.


Dan tiba-tiba…


“Hati-hati, Kupu-Kupu kecil!”


Suara berat tapi ramah terdengar dari atas. Luma terkejut dan melihat ke sekeliling. Dari balik gumpalan awan, muncul wajah besar berbentuk bulat dengan mata teduh dan senyum bersahabat.


“Aku Awan Besar,” katanya lembut. “Aku melihatmu terbang tinggi. Kau ingin apa, kupu-kupu kecil?”


Luma membuka matanya lebar-lebar. “Kau... awan yang bicara?”


“Ya, tidak semua awan bisa bicara. Tapi aku memang yang menjaga langit di atas Lembah Pelangi.”


“Aku ingin tahu seperti apa rasanya awan. Aku ingin menari di atasmu!”


Awan Besar tersenyum, tetapi menggeleng pelan. “Sayangnya, tubuhku hanya uap air. Kau tidak bisa menari di atasku, karena kau akan jatuh menembusku.”


Luma menunduk kecewa. Tapi Awan Besar berkata, “Jangan sedih. Sebagai gantinya, maukah kau ikut denganku melihat keajaiban langit?”


Perjalanan Ajaib di Angkasa


Luma mengangguk cepat. “Tentu mau!”


Awan Besar perlahan membentuk jembatan uap tipis yang membawa Luma terbang bersamanya. Meski tak bisa duduk di awan, Luma bisa melayang di antara embun-embun halus yang seperti bintang-bintang kecil.


Mereka melewati pelangi yang baru terbentuk. Pelangi itu menyapa dengan suara merdu.


“Selamat datang, Kupu-Kupu Luma. Jarang ada makhluk kecil yang bisa melihatku dari dekat.”


Luma berputar girang. “Kau indah sekali!”


Lalu mereka melewati Gerombolan Awan Cemberut, sekelompok awan kelabu yang suka mendatangkan hujan. Mereka tampak sibuk memanggil angin dan petir.


“Hai! Mau hujan sebentar lagi?” tanya salah satu awan gelap.


“Bukan sekarang,” jawab Awan Besar. “Kami sedang menunjukkan langit kepada tamu kecil kita.”


Mereka pun terus melaju. Di kejauhan, terlihat menara cahaya aurora yang berkilau pelan-pelan meski siang hari.


“Itu tempat tinggal Bintang-Bintang Cahaya,” bisik Awan Besar. “Mereka tidur di siang hari, dan menari di malam hari.”


Luma merasa seolah berada di dunia yang sama sekali baru. Ia belajar tentang tekanan udara, mengapa awan bisa menggelap, bagaimana embun terbentuk, dan kenapa matahari terlihat lebih merah saat terbenam.


“Aku tak pernah tahu langit penuh cerita!” serunya takjub.


Ketika Badai Datang


Namun, keindahan itu tak berlangsung lama. Udara mulai dingin. Angin menguat. Awan-awan di kejauhan menggumpal menjadi gelap pekat.


Awan Besar berhenti.


“Luma... waktunya kau kembali.”


“Tapi kenapa? Aku belum ingin turun.”


“Lihat ke sana,” katanya sambil menunjuk. “Itu badai. Petir dan angin kencang akan datang. Sayapmu yang halus tak akan kuat menghadapi hujan deras dan angin langit.”


Luma menelan ludah. Ia menatap awan kelabu yang menyambar dengan kilat cahaya.


“Kalau begitu... bolehkah aku kembali lagi lain kali?”


Awan Besar mengangguk. “Tentu. Kau selalu diterima di langit. Tapi hanya saat langit bersahabat.”


Luma mengangguk. “Terima kasih, Awan Besar. Kau sangat baik.”


“Dan kau sangat pemberani.”


Kembali ke Lembah


Luma pun menukik turun, menembus lapisan angin, menuju Lembah Pelangi. Tepat saat ia tiba dan berlindung di balik daun lebar, hujan turun deras membasahi tanah.


“Luma!” seru Mimi. “Kau ke mana saja? Kami mencarimu!”


“Aku... aku pergi ke langit,” jawab Luma dengan napas tersengal, tapi matanya bersinar bahagia.


“Ke langit? Hahaha! Itu mimpi siang bolong!” kata Tilo si capung.


Namun, Dodo si semut berkata, “Tidak ada yang mustahil jika kau berani mencoba.”


Luma tersenyum. Ia menatap ke langit. Di antara rintik hujan, ada seberkas cahaya matahari menembus awan. Dan di ujungnya… sebuah pelangi mulai terbentuk.


Pelangi itu melengkung ke arah Lembah Pelangi, seolah memberi salam kepada sahabat kecilnya yang penuh mimpi.


Epilog: Semangat Luma


Sejak hari itu, Luma dikenal sebagai Kupu-Kupu Langit. Ia tak hanya terbang di antara bunga, tapi juga menjadi pembawa cerita tentang langit kepada semua makhluk di lembah.


Setiap malam, anak-anak serangga berkumpul di bawah cahaya kunang-kunang, mendengarkan kisah Luma tentang Pelangi, Awan, dan Cahaya Bintang.


Dan di langit, Awan Besar terus mengamati lembah dari kejauhan, sambil menunggu hari di mana sahabat kecilnya kembali menari di antara awan.


Leave A Comment